Sabtu, 05 September 2009

INTERPRETASI HERMENEUTIK DALAM KUMPULAN SAJAK RUMAH CAHAYA KARYA ABDUL WACHID B.S.

1. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Puisi merupakan sebuah ekspresi yang mampu membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera. Karya sastra senantiasa menarik untuk dibaca dan dikaji. Karena untuk memahami karya sastra yang baik tidak hanya cukup dibaca saja tapi perlu pemahaman mendalam agar menemukan makna terpendam dalam karya sastra tersebut.
Penelitian merupakan salah satu langkah penting untuk memantapkan penelitian dalam kegiatan keilmuan dibidangnya masing-masing. Agar penelitian dapat lebih efektif dan efisien, dalam penelitian perlu melengkapi dengan metodologi penelitian, dan teknik penelitian yang sesuai dengan bidang serapan maupun objek material penelitiannya. Tanpa bekal tersebut, hasil penelitian akan kurang diakui atau tidak mendapat legitimasi ilmiah dan secara teknis pelaksanaan penelitian itu sendiri menjadi sulit dilakukan. Dalam penelitian ilmu sosial terdapat bermacam-macam dasar pendekatan, pengembangan metode, penentuan strategi, dan teknik penelitian. Penelitian bidang sastra misalnya, terdapat berbagai variasi metode penelitian yang masing-masing memiliki wilayah penekanan yang berbeda-beda.
Selain itu, antara metode yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat batas perbedaan yang jelas. Variasi metode dalam penelitian bahasa dan sastra tidak ditandai oleh batas-batas yang tegas seperti dalam disiplin ilmu lain, sehingga terjadi kerancuan pengertian atau kesalahan interpretasi tentang metode yang digunakan. Oleh karena itu, pengenalan terhadap berbagai variasi metode dan pendekatan ini menjadi sangat diperlukan.
Dalam hal ini, penulis akan mengkaji lebih dalam terkait dengan puisi-puisi sufi karya Abdul Wachid B.S. dalam kumpulan sajak Rumah Cahaya. Dalam Rumah Cahaya ini, penyair lebih banyak menggunakan istilah religi, yang berupa unsur dari doa. Di dalam kenyataan pelaksanaanya, doa bukan hanya diartikan meminta-minta. Lebih tepat kiranya jika doa dimaknai sebagai pencitraan dari realitas social dan realitas alam yang bisa membuka hati dengan sang Pencipta. Penciptanya sekaligus terbatasi oleh hokum kepastian alam (sunatullah). Pengharapan doa merupakan bagian dari usaha manusia dalam mengatasi keterbatasannya. Dalam kerja kreatifitas (termasuk kesusastraan) agar tidak hanya menjadi objek pengharapan, dapat diartikan sebagai subjek pelaku pengharapan itu. Begitulah nyanyian cinta Abdul Wachid B.S. dalam Rumah Cahaya ini.

Di sisi lain, dalam citra “aku-lirik” yang dibangun Abdul Wachid B.S. merepresentasikan mistik kepribadian (mysticism of personality), yaitu hubungan makhluk dengan Pencipta yang dipresepsi seperti budak tuannya, atau si mabuk cinta yang mendambakan kekasihnya. Hal ini ditunjukan dengan sikap sujud itu sendiri, suatu upaya penyucia jiwa dan kembali kepada ftrah kemanusiaan (Kurniawan, 2009: 7).

Penjelasan mengenai buku kumpulan puisi Rumah Cahaya Abdul Wachid B.S. di atas semakin mempertegas mengenai pengarahan puisi sufi-nya. Dalam perkembangan persajakan Indonesia, hal ini menarik untuk dilakukan inerpretatif atau pemaknaan pada persajakannya. Untuk mengetahui makna yang terdapat pada sajak tersebut harus diteliti terlebih dahulu agar mengetahui apa yang tersurat dalam sajak tersebut.

Tentang karya-karya Abdul Wachid B.S., menurut R. Toto Sugiharto, Karya-karyanya banyak menyiratkan kepincangan sosial yang sekuleristik dengan alternatif sikap cultural profetis. Bagi-nya sajak adalah sebuah sikap kemanusiaan yang berserah dalam doa dan air mata agar diri tidak tenggelam dan larut di tengah-tengah pusaran industrialisasi kemanusiaan yang melukai. Puisi merupakan sikap transendensi kemanusiaan, bukan sebuah kekalahan. Sajak sebagai rumusan semangat sepiritual, bukan eskapisme kultural.


1.2
Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan bagaimana metafora dalam kumpulan sajak Rumah Cahaya bagaimana memaknai simbol “rumah” dalam puisi Pulangkarya Abdul Wachid BS, penelitian ini menggunakan teori secara hermeneutika Paul Ricoeur. Hermeneutika digunakan sebagai teori untuk mengungkap konsep “rumah” yang terepresentasikan dalam kumpulan puisi Rumah Cahaya.


1.3
Tujuan PenelitiaN


Pembacaan hermeneutik dalam kumpulan sajak Rumah Cahaya ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami makna yang terkandung didalamnya. Dari penelitian ini diharapakan pembaca dapat lebih mudah untuk memahami dan menafsirkan sajak-sajak karya Abdul Wachid B.S. secara metafora dan simbol.



2.
LANDASAN TEORI


2.1
Teori Hermeneutika


Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani ”hermeneuin” yang berarti “menafsirkan” dan kata bendanya “hermeneia” yang berarti“penafsiran”atau”interpretasi” dan kata meneutis yang berarti interpreter (penafsiran). Jadi, hermeneutika adalah “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang, yang selalu berurusan dengan tanda, penafsiran, pemahaman (pemahaman maksudnya mempertimbangkan pandangan-pandangan yang melingkupi teks)
.
Gambaran umum dari pengertian hermeneutika diungkapkan oleh Zygmunt Bauman, yaitu : “ sebagai uapaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca".

Berangkat dari mitos Yunani, kata hermeneutika diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi menegerti”. Menurut E. Palmer, bahwa mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung dalam tiga bentuk makna dasar dari hermeneuin dan hermeneia. Pertama, hermeneuin sebagai “to express” (mengungkapkan), “to asset” (menegaskan) atau “to say” (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan”. Kedua, hermeneuin sebagai “to explain”(menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitik beratkan pada penjelasan dari pada dimensi interpretasi expresif. Ketiga, herme>neuin sebagai “to translate”, pada dimensi ini “to interpretasi” (menafsirkan), bermakna “to translate” (menerjemahkan) yang merupakan bentuk khusus dari proses interpretative dasar ”membawa sesuatu untuk dipahami” (Wachid, BS : 162-163).

Kata hermeneutika merupakan kata benda (noun), yang mengandung tiga arti: (1) ilmu penafsiran, (2) ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dengan ungkapan penulis, (3) penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran kitab suci. Akan tetapi secara lebih aplikatif kata “hermeneutika” ini menurut F.Budi Hardiman bisa didefinisikan dalam tiga hal yaitu : (1) mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menterjemahkan dan bertindak sebagai penafsiran (2) usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui kedalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca, (3) pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas.


Oleh sebab itu hermeneutika selalu berurusan dengan (1) tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes,(2) perantara atau penafsir (Hermes), (3) penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima (Wachid, BS:164-165).

Hermeneutika adalah kata yang didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra, hermeneutika baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi protestan Eropa. Menurut Ricour, pemaknaan adalah suatu dialektika antara penjelasan dan pemahaman. penjelasan merupakan analisis struktur yang dilakukan terhadap karya dengan melihat hubungannya pada dunia yang ada di dalam teks. Model ini mejelaskan sisi objektif sebagai ranah ilmu alam. Dari sini dapat dilihat bahwa hasil pemaknaan hermeutika adalah pemahaman diri (refleksi), yaitu membiarkan teks (objektif) dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman “aku” pembaca (subjektif) tentang diri “aku” sendiri (Ricoeur, 1981: 177 via Kurniawan, 2009:112-113).


2.2
Simbol


Kata simbol berasal dari bahasa Yunani “Sumballo” berarti” menghubungkan atau menggabungkan”.
simbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak seiap tanda adalah simbol. Ricoeur mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok atau literature menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figurative yang dapat dipahami hanya melalui yng pertama. pembebasan ekspresi dengan sebuah makna ganda ini mengatakan dengan tepat wilayah hermeneutika (Kurniawan, 2009: 27)
Secara etimologis, simbol berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda,perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide ( Hartoko dan Rahmanto,1998:133 via etimologi simbol). Ada pula yang yang menyebutkan “simbolos” yang berarti tanda atau ciri yang membertahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000: 10 via etimologi simbol). Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimia, yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya.
simbol juga metafora, pemakaian atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana, 2001:136-138 via etimologi simbol).
Simbol adalah tanda yang menunjukan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrar (semau-maunya). arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol (Pradopo, 2007: 120).

Hubungan antara simbol dengan penanda dengan petanda sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. dengan demikian, sebuah simbol dapat berdiri untuk sesuatu institasi, cara berfikir, ide, harapan, aspirasi, sikap dan sebagainya. Simbol dapat berupa kata-kata (verbal) perilaku non verbal dan objek yang maknanya disepakati bersama.

“Setiap kata adalah simbol”, demikian ditegaskan Paul Ricoeur (via Sumaryono, 1999: 106; Wachid B.S., 2008: 26). Kata-kata yang memiliki berbagai bentuk makna, yang sifatnya tidak langsung dan kias, demikian dapat dipahami dengan symbol-simbol tersebut. Simbol dan interpretasi konsep yang mempunyai pluraritas makna yang terkandung di dalam symbol atau kata-kata di dalam bahasa. Setiap interpretasi adalah upaya untuk membongkar makna yang terselubung. Oleh sebab itu, “Hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah symbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam symbol-simbol tersebut” (Wachid B.S., 2008: 26-27).

“Interpretasi” dalam persepektif Paul Ricoeur, “adalah karya pemikiran yang terdiri atas penguraian makna tersembunyi dari makna yang terlihat, pada tingkat makna yang tersirat di dalam makna literer”. “Simbol dan interpretasi menjadi konsep yang saling berkaitan, interpretasi muncul di makna jamak berada, dan di dalam interpretasilah makna termanifestasikan”(dalam Bleicher, 2003: 376, via Wachid B.S.,2008: 27). Menurut Paul Ricoeur, interpretasi dilakukan dengan cara “perjuangan melawan distansi kultural".


2.3
Metafora


Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi (Kurniawan, 2009: 23).

Aristoteles menjelaskan bahwa metafora adalah penerapan kepada suatu benda nama yang termasuk sesuatu yang lain, interferensi yang terjadi dari jenis ke spesies, dari spesies jenis, dari spesies atau secara proporsional. Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong semantik dalam kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh karena itu metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kata itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (Ricoeur, 1976:45 via kurniawan, 2009:23).

Metafora, kata Manroe, adalah puisi dalam miniature. metafora menghabungkan makna harfiah dengan makna figurative dalam karya sastra. dalam hal ini karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplesit dan implisit (Ricoeur, 1976:43 via Kurniawan, 2009: 23).

Konsep metafora menurut Paul Ricoeur dapat disimpulkan, sebagai berikut:


1.
Metafora terjadi pada wilayah interpretasi dalam satu proposisi yang ditandai oleh unsur preditasi. Metafora merupakan ketegangan (tension) pada dua dunia (kata) yang berbeda (difference) karena adanya keserupaan (resemblance) yang ditandai oleh kehadiran predikasi, universal. Hal ini mengakibatkan ketegangan dalam metafora sesungguhnya tidak dapat diparafrasekan, artinya kalaupun bisa, paraphrase semacam ini tidak terbatas dam mampu menjelaskan makna inovatifnya atau makna tambah (surplus meaning) ;
2.
Metafora bukanlah hiasan wacana. Metafora memiliki lebih dari nilai ematif karena metafora member informasi baru. Metafora hakikatnya menceritakan realitas baru yang dikonstrusikan oleh wacana (Kurniawan, 2009: 26).

Metafora adalah sebuah model hubungan tanda yang didalamnya sebuah tanda dari sebuah system digunakan untuk menjelaskan makna tanda yang lainnya. dalam hal ini menjadi pijakan mendasar metafora adalah adanya keserupaan, kiasan retorivial atau peribahasa (Satiyanin via digilib.art). Metafora adalah sebuah model hubungan tanda yang didalamnya sebuah tanda dari sebuah system digunakan untuk menjelaskan makna tanda yang lainnya (figure of speech).


3.
METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan sumber yang berdasarkan Al-Quran untuk mengarah pada penjelasan deskriptif dan interpretasi sebagai ciri khas penelitian kualitatif. penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa , pada suatu kontek khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Kurniawan, 2009:31). Metode teoritis yang digunakan dalam penelitian adalah teori metafora dan simbol dalam hermeneuika (Paul Ricoeur).


Tahap penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1.
Melakukan pembacaan cermat terhadap objek penelitian yang telah ditetapkan.
2.
Melakukan pemilihan sampel sebagai data yang akan digunakan untuk penelitian, yaitu puisi imajis yang mengandung metafora dan simbol “rumah” sebagai tematik penelitian.
3.
Melakukan pengumpulan data-data tambahan yang mendukung penelitian ini. oleh karena penelitian kualitatif, maka data utamanya adalah kata-kata atau bahasa (kurniawan, 2009 :31 ), data pendukungnya yaitu buku-buku pustaka yang mendukung penelitian ini.
4.
Melakukan analisis secara cermat terhadap metafora dan simbol “rumah” yang terdapat dalam sajak-sajak yang dijadikan sampel penelitian dengan menggunakan paradigmatori hermeneutika (Ricoeur, via, Kurniawan, 2009:31). langkah kerja analisisnya mencakup : Pertama, langkah objektif ( penjelasan), yaitu menganalisis dan mendiskripsikan aspek semantik pada metafora dan simbol berdasarkan pada tataran lingistiknya. Kedua, langkah-langkah refleksi (pemahaman) yaitu menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu (reference), yang pada aspek simbolnya bersifat non linguistik. langkah ini mendekati tingkat antologis. Ketiga, langkah filosofis, yaitu berpikir denga mengunakan metafora dan simbol sebagai titik tolaknya. Langkah ini disebut juga dengan langkah eksistensial atau antologi, keberadaan makna itu sendiri.
5.
Merumuskan kesimpulan atas penelitian yang telah dilakukan.

4.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Sajak “ Pulang ” Karya Abdul Wachid B.S.


Pulang

aku ingin pulang

bersama kehidupan

bersama malaikat berparas segar

lalu menyaksikan lagi burung-burung

dengan guraunya merangkai sangkar bagi rumah

ya. akupun ingin pulang rumah hatiku

sebab seruan hidup di pintunya

dimana pagar-pagarnya kembang

lihatlah kupunya

atau kunang-kunang yang

malamnya menjanjikan sinar gemetar

aku ingin pulang rumah

dengan sinar-sinar gemetar itu

karena kemenangan yang melelahkan

dan jenuh sebagai sebutan

sipendosa, pulang pulanglah

dan lewatlah dengan girang yang

hati-hati, sebab kau membuka pintu

rumah

hatiku

menyambutku

1989



4.1 METAFORA DALAM SAJAK “PULANG”


Judul Pulang Karya Abdul Wachid B.S., menyiratkan sesuatu tentang keinginan aku-lirik yang ingin kembali. “Pulang” dimaksudkan sebagai pertaubatan. Yang terjadi adalah aku-lirik ingin kembali pada sesuatu yang telah ia tinggalkan (dari gelap menuju terang). Pada konteks ini, apa yang kemudian bermunculan dari pengharapan memang berhubungan dengan aktualitas. Dalam hal ini lebih dimaknai sebagai pencarian hakikat “kehidupan”. Dalam pencarian arti ini akan terjadi dialektika antara dunia empiris dengan idealis (Wachid B.S., 2005: 134).

Hal ini hampir sama hakikatnya dengan sajak Abdul Wachid B.S. yang lainnya, yakni “Ajari Aku Kembali". Judul “Ajari Aku Kembali” menyiratkan suatu arti tentang keinginan, permintaan, dan permohonan pada sesuatu. Kata “kembali” berhubungan dengan “kepergian” dari suatu tempat. “Kembali” berarti “pulang”, yaitu kembali pada suatu tempat yang telah ditinggalkan” (Kurniawan, 2009: 117). Hal yang sama antara judul “Ajari Aku Kembali” dengan judul “Pulang” karya Abdul Wachid B.S. ini yakni, menyiratkan adanya kesadaran atau pertaubatan pada kesalahan yang telah dilakukan dengan kepergiannya yang menyebabkan tersesat dari jalan yang benar.


(1)
aku ingin pulang
bersama kehidupan

bersama malaikat berparas segar


Baris pertama, kedua, dan ketiga diatas adalah ungkapan keinginan si-aku yang “ingin pulang”. Terjadi penekanan kata “pulang” dari judul sajak ini. “aku ingin pulang//bersama kehidupan”, hal ini berorientasi pada keinginan aku lirik yang ingin “bertaubat” bersama dengan makna “kehidupan” yang sesungguhnya. Manusia yang menenggelamkan dirinya dalam keinginan Sang Pencipta. Dia hanya menginginka keridloan Allah. Dia tahu bahwa dia hanya mekhluk yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Allah Swt berfirman, “ Allah ridlo terhadap mereka dan merekapun ridlo kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya (Q.S Al Bayyinah: 8)”.


“Bersama malaikat berparas segar” memetaforakan hal yang sama sekali samar gambarannya. “Malaikat”, makhluk yang sama sekali berbeda dengan manusia namun disini digambarkan memiliki paras yang segar. Disini terjadi penggabungan dua dunia yang berbeda. Manusia dengan segala sifatnya yang bisa saja seperti binatang dan bisa saja seperti malaikat. Hal ini merupakan arti dari kesucian, “malaikat” dengan segala sifatnya yang hanya patuh kepada perintah Allah.

Dengan demikian, sense baris pertama, kedua, dan ketiga ini menyiratkan arti “aku-lirik”, harapan, keinginan si-aku yang ingin kembali dengan ridlo Allah dan dengan kesucian.

(1)

lalu menyaksikan lagi burung-burung

dengan guraunya merangkai sangkar bagi rumah



Dua baris di atas menjelaskan atas konsep “pandangan” yang “menyaksikan” “kebebasan”. “Burung-burung” dapat dimaknai sebagai “kebebasan”. Maksudnya adalah aku-lirik menyaksikan orang-orang yang bebas tanpa beban, sedang asyik beribadah. “Dengan guraunya merangkai sangkar bagi rumah” dalam hal ini terjadi perluasan makna, yakni manusia yang “dengan guraunya” maksudnya berdasarkan cinta manusia menyusun iman-nya sebagai jalan untuk menuju kepada sebuah pertaubatan untuk mendapatkan ridlo Allah. “Sangkar bagi rumah”, adalah metafora-kata (word metaphor) yang oleh Ricoeur bisa disebut metafora mati atau bukan metafora sebenarnya karena tidak ada perluasan makna pada tatara kalimat dan wacana. “Sangkar bagi rumah” termasuk kata figuratif yang dibangin sebagai dekoratif-ornamental. Maksud sangkar di sini hanya sebagai penguat baris di atasnya yaitu “burung”. Dalam konteks proposisi, ketegangan (tension) terjadi antara kata “sangkar” dengan “rumah” sebagai difference yang dimediasi oleh kata “bagi” sebagai penjelas yang memosisikan kutup predikasinya bagi sebagai konjungsi.

(1)

ya. akupun ingin pulang rumah hatiku


Baris keenam, pada bait pertama di atas, yaitu mengasosiasikan keinginan “aku-lirik”. “Akupun” sebagai identifikasi singular, “ingin pulang” sebagai predikasi universal, “rumah hatiku” sebagai atribusi objek. Merupakan proposisi keinginan “aku-lirik” yang “ingin pulang rumah hatiku” dalam artian ingin bertaubat, kembali ke jalan yang benar (jalan Allah). Secara konseptual baris ini adalah lanjutan efek dari baris sebelumnya.

(1)

sebab seruan hidup di pintunya

dimana pagar-pagarnya kembang



Baris ketujuh dan delapan, dari bait pertama ini, adalah penggambaran konkret dari metafora-kata dari “rumah” yang ada “seruan hidup di pintunya//dimana pagar-pagarnya kembang”. Nampak ada panggilan dalam puntu taubat. Maksudnya adalah setelah kita benar-benar “taubatan nasuha” insyaAllah cahaya keselamatan itu aka senantiasa menyinari kita. “Ada seruan untuk hidup” diartikan sebagi “seruan” dalam hidup yang sesungguhnya, hidup yang senantiasa mendapat ridlo Allah. “Dimana pagar-pagarnya kembang” maksudnya “pagar” dari “jalan yang benar” yang indah nan wangi. “Pagar” dan “pintu”-nya saja sudah indah, apalagi dalam “rumah”-nya (dalam jalan yang benar, jalan Allah) tentu akan lebih indah dan akan selamat. Karena taubat adalah jalan menuju keselamatan atas dosa-dosa, kesalahan yang telah kita perbuat di masa lalu. Singkatnya kita akan selamat jika melalui jalan yang benar yaitu jalan Allah.

(1)

lihatlah kupunya

atau kunang-kunang yang

malamnya menjanjikan sinar gemetar



Di sinilah muncul satu proposisi, yait kalimat perintah untuk melihat “kupu” dan “kunang-kunang” yang menghiasi “kembang”. Kata “kupu” mencitrakan seekor binatang yang cantik yang selalu ada pada bunga, menari-nari di sekelilingnya. Pada baris ini muncul seruan untuk melihat kupu yang cantik itu. Pada ketiga baris di atas muncul metafora-kata, yaitu “kupu” dan “kunang-kunang”. “Kupu” yang memang ada di sekitar “kembang” menjadi penekanan makna “kembang” yang sesungguhnya. Sedangkan “kunang-kunang” sebagai hewan malam yang eksotis dengan “sinar”-nya berpasangan dengan kata “malamnya”. Hal ini menimbulkan dikotomi dalam kehidupan bahwa manusia harus memilih jalan hidupnya di dunia untuk hidup yang kekal kelak di akhirat. Memang, secara kodrati, manusia mempunyai keterbatasan, disamping kelengkapan batin, pikir dan dinamika perilaku yang dapat mengatasi keterbatasan itu. Hal ini adalah hakikat dari “kupu” yang memang berada di antara “kembang”, dan “kunang-kunang” yang berada di antara “malam”. Karena pengharapa doa merupakan bagian dari usaha manusia dalam mengatasi keterbatasannya.


(2)

aku ingin pulang rumah

dengan sinar-sinar gemetar itu



Baris pertama dan kedua dari bait kedua di atas merupakan proposisi yang terdiri atas “aku” sebagai identifkas-singular, “ingin pulang” sebagai predikasi-universal, dan “rumah” sebagai atribusi-objek. Metafora yang hadir dalam preposisi ini adalah metafora-kata (word-metaphor) “pulang rumah” yang dapat dimaknakan sebagai keinginan “aku-lirik” untuk kembali (taubat) ke jalan yang benar yaitu jalan Allah. “Dengan sinar-sinar gemetar itu”, maksudnya harapan agar tujuan “pulang bersama sinar” (bercahaya dengan kebaikan dan ridlo Allah) dalam pertaubatannya.

Hal yang sama juga terdapat dalam sajak “Kupu-Kupu Terperangkap Gelap".


Perempuan sunyi cerita, di bawah traffic-light

jalanan, berdentang-dentang udara malam

Menampar jantung dan hatimu. Senantiasa

Ingin pulang rumah, ya kemana rumah

Selalu ingin menumpah tangis, habislah tangis



Seorang “perempuan” malam yang ber-“cerita” tantang kisah hudipnya yang pahit, sebagai “kupu” penghias malam yang lara dengan “udara malam” (kehidupan yang harus membawanya tersesat) yang “menampar jantung dan hati-nya” sehingga “aku-lirik” ingin “kembali” (bertaubat) tetapi tak tahu jalan pulang tuk “kembali”, sudah lelah, semua telah tercurah. Penggalan bait di atas merupakan preposisi yang terdiri atas “perempuan” sebagai identifkas-singular, “ingin pulang” sebagai predikasi-universal, dan “rumah” sebagai atribusi-objek. Metafora yang hadir dalam proposisi ini adalah metafora-kata (word-metaphor) “pulang rumah” yang dapat dimaknakan sebagai keinginan “aku-lirik” untuk kembali ke “jalan yang benar”.


(2)

karena kemenangan yang melelahkan



Pada baris ketiga bait kedua di atas, mempresentasikan sebab yang yang menjelaskan baris pertama, “Aku ingin pulang rumah” yaitu “taubat”. Dengan begitu, pengharapan (doa) menjadi energi baru berupa keyakinan untuk “pulang”. “Kemenangan yang melelahkan” menggabunkan dua dunia yang berbeda (difference) yang absurditas dalam keserupaan (resemblance). “Kemenangan” merupakan kabahagiaan, sedangkan “melelahkan” merupakan ungkapan keluhan. Pada hakikatnya sekalipun “lelah”, seseorang yang “menang” tidak akan mengeluh.

Dengan demikian sense pada baris ketiga bait kedua di atas, mewacanaka tentang keadaan “aku-lirik”, keluhan atas kemenangan (kemenangan dalam kesesatan) sehingga “aku-lirik” menginginkan untuk kembali.

(2)

dan jenuh sebagai sebutan

sipendosa, pulang pulanglah


Baris keempat dan kelima merupkan lanjutan dari sebab mengapa “aku-lirik” ingin “pulang” –sebagai subjek pokoknya atau identifikasi-singular--, “jenuh” sebagai atribusi-objektivasi. Pada konteks hubungan antar baris ini, metafora-pernyataan (statement-metaphor) tercipta karena predikasi-universal “jenuh” yang menghubungkan penyebab “aku-lirik” ingin “pulang”. “Jenuh sebagi sebutan/sipendosa” merupakan penyebab “pulang” sehingga ditekankan pada baris kelima “pulang pulanglah”.

Namun, pencitraan demikian sering muncul dalam dua dunia yang kontras; “//kini lihatlah/ bukan hanya perahu/ kapal hidup kita pun mau karam/ kehilangan kompas/…” (sajak “Harmoni”). Perlawanan disini merupakan ketegangan dalam cara berpikir dalam menghadapi aktualitas yang ukuran nilai manusiawinya yang sudah kodrati. Manusia memilik keterbatasan disamping kelengkapan batin, pikir dan dinamika perilaku yang dapat mengatasi keterbatasan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan “aku-lirik” mempunyai pengharapan (doa).

Pemahaman pemaknaan hubungan metafora pernyataan (statement-metaphor) di sini, perlu dikaji pula baris selanjutnya.

(2) …

dan lewatlah dengan girang yang

hati-hati, sebab kau membuka pintu


Dua baris pada bait kedua di atas mengungkapkan proposisi, yaitu “girang” sebagai predikasi-universal (resamblance) yang membuat ketegangan (tension) dari baris sebelumnya, antara “jenuh” dengan “girang” yang difference. “Jenuh” ini merujuk pada “keluhan”, sedangkan “girang” merujuk pada perasaan bahagia. Ketegangan (tension) metaforis terjadi karena perasaan bahagia “aku-lirik” dalam perjalanan pulangnya menuju kepada jalan Allah.

Suatu kebahagiaan karena telah kembali setelah tersesat, setelah mengalami kejenuhan sehingga ingin pulang/bertaubat kembali ke jalan yang benar yaitu jalan Allah. Pada hakikatnya manusia yang sadar dan kembali kepada jalan yang benar setelah tersesat merasakan kebahagiaan karena masih mendapat cinta kasih sayang dari Sang Maha Cinta. Untuk mendapatka ridlo dalam hidupnya setelah bertaubat dan insyaAllah akan selamat di akhirat, kehidupan yang sesungguhnya.

“Hati-hati, sebab kau membuka pintu”, “hati-hati” sebagai atribusi keterangan keadaan menerangkan penekanan “girang” sebagai perasaan bahagia, setelah menentukan pilihan antara hitam dan putih dunia. “Sebab kau membuka pintu”, makna di sini sebagai “proses” penyempurnaan hati menuju ridlo dan ampunan Allah Swt, sehinngga “kau”sebagai “aku-lirik” diingatkan oleh “aku” kalu masih berada di rumah yang kecil. Seperti pada penjelasan sebelumnya tentang “hati-hati” jangan sampai maut menjemput padahal tingkat tawakal kita pada Allah belum sempurna.

Hal yang sama juga terdapat dalam sajak “Sekuntum Doa yang Mekar".


o Maha Cahaya, nyalakan api sunyi rokhani

sempurnalah hatiku melayari mata-Mu yang telaga!”

ia tersedu. lalu malam mengecil

di rumah hati yang kecil. lalu maut tersandar

di sudut ruang rokhani yang kecil



Dalam penggalan sajak di atas, keterkaitan pemaknaan dengan baris keenam dan tujuh sajak “Pulang” sangat nampak. Pada bait di atas, menunjuk pada satu proposisi yang menyatakan suatu “permintaan” kepada Allah untuk “menyalakan api sunyi rokhani” agar “sempurna hati dalam melayari mata-Mu (Allah) yang telaga” sebagai atribusi-objek.

“Maha Cahaya”, Tuhan yang memberikan cahaya hati manusia dalam proses penyempurnaan jiwa dalam menjalani kehidupan yang sebenarnya dengan ridlo Allah. tetapi jangan sampai terhanyut dalam “melayari” kehidupan ini. sebab bisa menjadi gelap seperti “malam” dan menjadi “kecil”, makna di sini sebagai “proses” penyempurnaan hati menuju ridlo Allah, sehingga “aku-lirik” baru berada pada rumah yang kecil. Dalam hal ini ditekankan, jangan sampai maut menjemput padahal tingkat tawakal kita pada Allah belum sempurna.


(2) …
rumah
hatiku
menyambutku

Tiga baris terakhir ini menunjukan atribut keterangan “rumah” sebagai tujuan “pulang” dalam “aku-lirik”. Tujuan “pulang itu” adalah jalan yang benar, sesuai dengan hakikat “kembali” berhubungan dengan “kepergian” dari suatu tempat. “Kembali” berarti “pulang”, yaitu kembali pada suatu tempat yang telah ditinggalkan yaitu “rumah”, dalam artian bertaubat yakni kembali ke “jalan yang benar”.

“Hatiku” menunjukan metafora-kata (word-metaphor) sebagai figurasi-ornamental, yang oleh Ricoeur disebut juga dengan metafora mati atau metafora inventif (Ricoeur, 1976, via Kurniawan, 2009: 128), yaitu metafora yang tidak menciptakan perluasan makna tambah (surplus meaning). “Hatiku” sebagai wadah “pertaubatan” menyambut “aku-lirik” yang ingin bertaubat.

Dengan demikian, reference puisi “Pulang” ini mengungkapkan dunia tentang kehidupan dunia “aku-lirik” yang melakukan pertaubatan atau “pulang” kembali kepada jalan Allah dengan ridlo-Nya. Hakikat “Pulang” berarti kembali untuk “bertaubat” dalam kehidupan demi keridloan Allah dan mendapat ampunan Allah atas kesalahn-kesalahan dalam hidup “aku-lirik” sehingga mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.



4.2
SIMBOL RUMAH DALAM SAJAK “PULANG”


Simbol “rumah” pada sajak Pulang muncul pada bait pertama, dan kedua. Dalam sajak “Pulang” mempresentasikan “rumah” sebagai “jalan yang benar/ jalan Allah” dalam hidup, dalam rangka kembali pulang kepada jalan yang diridloi oleh Allah Swt dan mendapat ampunan Allah Swt.


(1)

dengan guraunya merangkai sangkar bagi rumah
ya. akupun ingin pulang rumah hatiku


Pada arti teks (sense) sajak Pulang mengungkapkan peristiwa tentang perjalanan seseorang dalam kehidupan. Seperti yang kita ketahui pada bait pertama diatas mengungkapkan kesadaran atas bahwa aku-lirik ingin taubat kembali kapada jalan Allah. Di sinilah rumah sebagai simbol telah menerangkan makna dari wacana secara keseluruhan. Pada baris pertama ini dijelaskan kegelisahan “aku-lirik” tentang pemaknaan keinsyafan yang mulai ditunjukan sebagai tujuan dari sajak “Pulang” ini.


Tujuan “aku-lirik” untuk insyaf kembali kepada jalan Allah disebabkan oleh kesadarannya bahwa di dalam pertaubatan terdapat banyak sekali keindahan dan keridloan yang akan membawanya kepada keselamatan. Artinya, muncul kesadaran “aku-lirik” bahwa selama ini kehidupan yang dilaluinya telah keliru dan bisa membawanya celaka. Muncul pula kesadaran bahwa hakikatnya dia adalah milik Allah, hidup atas Allah, dan harus hidup untuk Allah.

Konsep makna pulang sebagai representasi sebagai keinginan tuk kembali “taubat”, sebagai sebuah keimanan berakar pada Al- Qur’an surah Ali ‘Imran ayat 89: “Kecuali orang-orang taubat, sesudah (kafir) itu mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Qur’an). Mengadakan perbaikan disini berarti berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dlakukan.


(2)

aku ingin pulang rumah



Rumah pada baris pertama bait kedua ini mempresentasikan penekanan dari pemaknaan “rumah” pada bait pertama. Rumah, mempresentasikan diri sebagai simbol karena keberadaan “aku-lirik” yang menjauh, membuat dia sadar untuk kembali pada jalan yang benar/ jalan Allah. Muncul kesadaran bahwa kepada-Nya semua kan kembali. Ditekankan pula keinginan kembali “aku-lirik” bersama dengan “sinar-sinar”, yang di maksudkan kembali secara ikhlas karena Allah.

Konsep makna simbol rumah sebagai representasi sebagai tujuan untuk kembali ke “jalan yang benar”, sebagai sebuah kesadaran keimanan tersurat pada Al- Qur’an surah An Nisaa’ ayat 17 : “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lag Maha Bijaksana (al-Qur’an) ”.


(2) …

…, sebab kau membuka pintu

rumah

hatiku

menyambutku


Di sini, “rumah” menyimbolkan “jalan yang benar”, taubat akan menuntun jalan kita menuju jalan Allah. Kesucian taubat sangat berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia. Pemaknaan “rumah” sebagai “jalan Allah” terjadi karena melihat kedudukannya yang mempunyai gambaran sebagai tujuan dari pulang, yang dimaksudkan disini kembali setelah tersesat dalam kekeliruan.

Dalam kehidupan manusia rumah sebagai tujuan kembali. Dalam hal ini “rumah” yang dipresentasikan sebagai “jalan yang benar/ jalan Allah” yang menjadikan jalan terbaik bagi kita dalam kehidupan dunia dan akherat. Setiap tindakan seseorang maupun pengucapannya menjelaskan perbuatan di dunia untuk kehidupan di akherat. Maka tafsir atas rumah dalam simbol teks di atas disini berarti sama dengan arti bahwa rumah sebagai tempat atau sebagi tujuan pada pulang, artinya taubat untuk menuju kepada jalan Allah serta untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan di akherat kelak.

Oleh karena itu, jalan sepiritual yang dilalui oleh “aku-lirik” berawal dari kesadaran akan makna hidup di dunia yang merupakan awal dari kehidupan di akherat sebagai kesadaran transidental. Hal ini menunjukan kesadaran “aku-lirik” sebagau hamba yang memperoleh kesadaran keinsyafan atas kekeliruan dalam menyikapi kehidupan dunia. Keadaan ini mengindikasikan bahwa “aku-lirik” sebagai hamba Allah yang kemudian khilaf sehingga sajak “Pulang” mengekspresikan keinginan “aku-lirik” untuk kembali bertaubat kepada jalan Allah.


4.3
KONSEP PERTAUBATAN DALAM PANDANGAN ISLAM


Dalam kehidupan manusia atau realita kehidupan, ada sebuah perwujudan bahwa orang-orang yang bertaubat lalu kemudian mengerjakan amal shaleh setelah berbuat kejahatan maka selanjutnya adalah kebajikan di dalam indah duniawi dengan ridlo dan ampunan Allah. Karena kesadaran bahwa hanya kepada Allah-lah manusia akan kembali. “Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka kejahatan mereka akan diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Pennyayang (Q.S Al Furqaan : 70)”.

Konsep rumah lahir pada bait pertama, dalam pemikiran Islam, dimaknai sebagai tujuan dari kembali (sadar) kepada jalan Allah, Sebagai ungkapan takut dan permohonan ampunan dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan sebelumnya. Telah dijelaskan pula tentang perintah dan hakikat taubat di dalam al-Qur’an (yang sudah di cantumkan pada beberapa penjelasan di atas).

Dalam sajak “Pulang” ini “rumah” mengacu sebagai simbol jalan yang benar/ jalan Allah. Diungkapkan lewat kesadaran transidental “aku-lirik” terhadap Tuhan. Kesadaran transendensi “aku-lirik” yang bermula pada penghayatan tentang pemaknaan “bagaimana harus hidup” dan juga merenungi pula “apa hidup”. Dengan begitu terjadi dialektika antara dunia empiris dengan idealis. Diperlukan adanya keseimbangan yang sejalan dengan hati nurani.

Kesadaran transendental “aku-lirik” dalam puisi “Pulang” antara lain: pertama, kesadaran untuk membagi secara seimbang urusan dunia untuk urusan akhirat. Kedua, harapan bahwa sebuah hidayah keimanan akan menyelamatkan kehidupan dunia untuk kehidupan akhirat. Ketiga, keyakinan bahwa perwujutan pertaubatan atas perbuatan di dunia akan mendapat ridlo Allah untuk mendapat ampunan-Nya demi kehidupan yang kekal di akhirat.


5.
KESIMPULAN


Penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan judul Pulang, yang dapat disimpulkan sebagai berikut.
Rumah”, secara simbolis, muncul pada bait pertama dan kedua, pada bait-bait itu rumah sebagai symbol yang mennggantikan sesuatu. Rumah“, secara metafora, menyiratkan suatu arti tentang pertaubatan seseorang menuju “jalan yang benar/ jalan Allah”.
Pembacaan hermeneutik dalam kumpulan puisi Rumah Cahaya ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami makna yang terkandung didalamnya. Maka pemaknaan tekstual dalam penelitian ini didasarkan pada hakikat manusia sebagai hamba Allah yang harus selalu taat pada-Nya dalam memaknai arti kahidupan yang sesungguhnya mutlak milik Allah.

Oleh karena itu sajak-sajak yang dikaji di sini tentang rumah yang berkaitan dengan rumah dalam arti sesungguhnya sebagai tempat untuk kembali, yang diartikan sebagai taubat yang menunjukan kesadaran “aku-lirik” sebagau hamba yang memperoleh kesadaran keinsyafan atas kekeliruan dalam menyikapi kehidupan dunia untuk kembali kejalan Allah. Keadaan ini mengindikasikan bahwa “aku-lirik” sebagai hamba Allah yang kemudian khilaf sehingga sajak “Pulang” mengekspresikan keinginan “aku-lirik” untuk kembali bertaubat kepada jalan yang benar yaitu jalan Allah.

Kesadaran “aku-lirik” tentang hidayah (keimanan) pada Tuhan sebagai esensi kehidupan yang akan menyelamatkan kehidupan manusia dari ilusi duniawi. Manusia adalah bagian dari kehidupan, manusia mudah saja untuk larut masuk kedalam ilusi dunia ini.


Dari penelitian ini, diharapakan pembaca dapat lebih mudah untuk memahami dan menafsirkan khususnya sajak Pulang”, dan terlebih sajak-sajak lain dalam kumpulan puisi Rumah Cahaya karya Abdul Wachid B.S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar