Sabtu, 05 September 2009

Analisis Tema dan Penokohan Cerpen “Sebutir Biji Tasbih” Karya Manaf Maulana

  1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala social sekitarnya. Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya kepada subjek kolektifnya. Karya sastra merupakan tanggapan seorang pengarang terhadap dunia yang dihadapinya. Di dalamnya terdapat pengalaman pengarang, pengalaman orang lain, dan pengalaman sekelompok masyarakat.

Seorang sastrawan dalam menuangkan karyanya bukan sekedar muntahan dari lingkungan sekitar semata, namun penyerapan berawal dari bahan mentah yang telah merasuki pikirannya sebagai bekal penghayatan yang dalam benak sastrawan menjadi sebuah rasa yang menggelora, mengkristal menjadi kata-kata yang siap dituangkan, yang pada akhirnya membentuk rentetan kalimat hingga layak menjadi sebuah karya sastra.

Karya sastra menurut ragamnya terbagi menjadi tiga, prosa, puisi, dan drama. Dalam bentuk karya prosa, terdapat bentuk yang disebut cerita rekaan. Cerita rekaan merupakan cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan tafsiran, dan penilaiannya mengenai peristiwa-peristiwa yang hanya berlaku dalam khayalan saja, cerita rekaan terbagi atas beberapa jenis yaitu roman, novel, dan cerpen.

Cerita pendek menurut Stanton adalah karya sastra yang termasuk dalam jenis prosa. Paling banyak kira-kira lima puluh halaman. Disebut cerita pendek karena jenis ini hanya mempunyai efek tunggal, karakter, plot, dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks. Biasanya dalam cerpen hanya memuat satu situasi ruang lingkup yang sempit, seleksinya ketat, dan kepadatan serta intensitasnya lebih diutamakan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan bagaimana deskripsi tema dan penokohan dalam cerpen “Sebutir Biji Tasbih” karya Manaf Maulana.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini mempunyai dua kajian utama yaitu tujuan teoritis dan praktis. Tujuan teoritis dalam penelitian ini adalah untuk mengungkapkan beberapa unsure intrinsik dalam cerpen “Sebutir Biji Tasbih” karya Manaf Maulana.

Adapun tujuan praktisnya adalah memberikan informasi kepada penikmat karya sastra tentang beberapa unsure intrinsik pembangun dalam cerpen ini.

Pada umumnya, penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan khasanah keilmuan sastra yang memungkinkan besar imbasnya pada terwujudnya peningkatan kualitas karya sastra Indonesia pada umumnya. Akan lebih difokuskan dalam pengkajian aspek pembangun karya sastra yakni tema, dan penokohan.

  1. LANDASAN TEORI

Abrams menjelaskan bahwa model yang memusatkan kajiannya terhadap peran pengarang disebut ekspresif. Bila menitik beratkan pada matik, yang telah berorientasi pada aspek referensinya disebut mimetic, sedangkan yang memberikan perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsic disebut pendekatan objektif.

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting, sebab pendekatan ini mengidentifikasikan perkembangan manusia dalam evolusi teori yang kemudian menjadi revolusi teori dari strukturalisme menjadi strukturalisme dinamik, resepsi, interteks, dekonstruksi, sampai postrukturalisme pada umumnya. Dengan demikian pendekatan objektif memusatkan perhatian semata-mata pada unsure-unsuryang dikenal dengan analisis intrinsic. Melalui pendekatan inilah unsur-unsur intrinsik karya sastra akan dieksploitasi semaksimal mungkin. Teori sebagai alat berfungsi untuk mengarahkan penelitian.

Analisis strukturalisme lebih dititik beatkan pada sambungan yang diberikan untuk masing-masing unsur pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinan sebuah karya sastra. hasil ini karena adanya timbal balik antara masing-masing bagian karya sastra. Karya sastra merupakan keseluruhan yang unsur-unsurnya saling berkaitan.

Dalam hal ini, Knox C. Hill menyatakan bahwa karya sastra adalah struktur yang kompleks. Hal ini disebabkan karena karya sastra mempergunakan bahasa sastra yang mbiguitas. Oleh karena itu, sebuah karya sastra dapat dimengerti secara menyeluruh. Begitu pula dengan hubungan-hubungan antara bagian-bagian unsur-unsur atau lapis-lapis normalnya tersebut.

Hawks menjelaskan bahwa strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Perihal struktur, Hawks menjelaskan bahwa di dalam pengertian struktur terkandung tiga gagasan pokok. Pertama gagasan kesatuan, yaitu bahwa bagian-bagian yang membentuk sebuah struktur itu tidak berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua gagasan transformasi, yaitu bahwa struktur itu tidak statis dalam artian memungkinkan adanya pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga gagasan pengaturan diri sendiri, yaitu bahwa struktur tersebut tidak memerlukan hal-hal di luar struktur itu sendiri untuk mempertahankan transformasinya. Hal ini berarti bahwa struktur itu otonom terhadap hal-hal di luar struktur itu sendiri.

Pendekatan struktur juga disebut pendekatan objektif. Pendekatan formal atau pendekatan analitik. Bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif yang memiliki otonom penuh, maka bila hendak dikaji, yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang membangun karya sastra tersebut seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa, serta hubungan harmonis antar aspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra yang utuh dan penuh dengan nilai estetik.

  1. HASIL PENELITIAN

Judul : Sebutir Biji Tasbih

Karya : Manaf Maulana

Sumber : Kedaulatan Rakyat, Minggu Kliwon 26 Juli 2009 (3 Ruwah 1942), hal. 14

Sebutir Biji Tasbih

Cerpen Manaf Maulana

Meski setiap hari berzikir dengan menggunakan kalung tasbih, Ibu hanya punya seuntai kalung tasbih. Itu pun pemberian Paman ketika pulang dari tanah suci dalam rangka umroh dengan biaya kantor. Seuntai kalung tasbih itu dianggap istimewa karena Paman membelinya di Madinah sehabis berziarah di makam Rasulullah.

Ibu pernah mengaku setiap kali berzikir dengan memijit biji-biji tasbih itu selalu merasa dekat dengan Tuhan dan membayangkan juga berada di dekat makam Rasulullah. “Kelak kalau aku diberi kesempatan pergi ke tanah suci dan berziarah ke makam Rasulullah, aku akan membeli kalung tasbih untuk kamu,” ujar Ibu kepadaku ketika kami sedang menonton teve hitam putih 12 inci yang sedang menayangkan prosesi ibadah haji di tanah suci.

Dalam hati aku berdoa, semoga keinginan Ibu dikabulkan oleh Tuhan. Doaku terasa ragu, karena Ibu sudah tua dan kami hidup miskin. Rasanya kami tidak layak berharap bisa naik haji atau pergi umroh karena untuk bisa makan sehari-hari saja sering kesulitan. Sebagai keluarga petani, kami hanya punya sawah warisan seperempat hektar. Ketika Ayah masih hidup, kami bisa menggarap sawah lebih dari seperempat hektar karena Ayah menyewa sawah lagi untuk digarapnya atau menggarap sawah tetangga dengan sistem bagi hasil.

Setelah Ayah wafat, kami hanya mampu menggarap sawah seperempat hektar itu. Sering tanaman yang hendak kami panen digasak hama sehingga gagal panen.

Tapi aku tetap berdoa semoga keinginan Ibu dikabulkan Tuhan. Banyak orang tiba-tiba mampu naik haji atau pergi umroh karena mendapat rezeki nomplok yang tak terduga-duga sebelumnya.

***

Ibu menangis sehabis shalat subuh di kamar tidurnya. Aku baru saja habis shalat subuh di kamar tidurku. Lalu aku bergegas masuk kamarnya dan bertanya kenapa Ibu menangis? “Benang kalung tasbih putus. Biji-biji tasbih jatuh dan menggelinding kemana-mana.” Ibu menjawab dengan isak tangis yang tertahan-tahan.

Tanpa basa-basi, aku membantu Ibu mengumpulkan biji-biji tasbih yang berceceran di lantai kamar tidurnya. Setelah menduga semua biji tasbih sudah terkumpul, Ibu kemudian merangkainya lagi dengan benang. Tapi setelah dirangkai, ternyata jumlah biji tasbih belum lengkap. Masih ada sebutir biji tasbih yang hilang.

Aku segera mencari sebutir biji tasbih yang hilang itu. Semua jengkal lantai kamar tidur Ibu kusisir dengan mata. Tak juga terlihat.lalu aku mencoba mencarinya dengan cara menyisir setiap jengkal lantai kamar Ibu dengan sapu. Tidak juga kutemukan. Entah emana sebutir biji tasbih itu menggelinding. Benar-benar seperti lenyap, ibu tampak sedih setelah aku gagal menemukan sebutir biji tasbih yang hilang itu.

“Coba diganti dengan kancing baju atau biji buah kelengkeng yang dilubangi,” aku mencoba menyampaikan saran. “Rasanya mengganggu berzikirku kalau jumlah biji tasbih belum lengkap.” Ibu menukas dengan wajah murung.

Aku merasa ikut bersedih. Rasanya aku ingin membelikannya kalung tasbih baru. Tetapi aku tidak punya uang. Sebagai petani kecil menjelang musim tanam aku tak pernah memegang uang. Yang kami makan sehari-hari bahkan hanya nasi dengan lauk kudapan daun lamtoro dan daun singkong yang diambil Ibu dari halaman belakang.

Lalu aku terpaksa meminjam uang lima ribu rupiah kepada Pak Jayus, si rentenir di kampung kami. Uang pinjaman yang berbunga-bunga setiap hari itu segera kubelikan seuntai kalung tasbih. Ketika aku pulang dari pasar dan kemudian menyerahkan seuntai kalung tasbih baru kepada Ibu, langsung Ibu menyergapku dengan pertanyaan curiga. “Dari mana kamu memperoleh uang untuk membeli kalung tasbih ini?” Dengan tegas aku menjawab jujur. “Dari Pak Jayus.” Ibu langsung menangis. “Cepat gadaikan kain jarit untuk melunasi utangmu kepada Pak Jayus hari ini juga,” perintahnya dengan terisak-isak.

Tanpa bicara lagi aku segera pergi ke kantor pegadaian untuk menggadaikan selembar kain jarit milik Ibu yang belum pernah dipakainya. Kain jarit itu sudah beberapa kali keluar masuk ruang penyimpanan barang gadaian.

Sepulang dari kantor pegadaian, aku segera kerumah Pak Jayus untuk melunasi utangku. “Kenapa cepat dilunasi?” Tanya Pak Jayus. “Ya, Pak, kebetulan ada famili yang datang dan memberiku uang,” jawabku berbohong.

Pak Jayus nampak kecewa. Sebagai rentenir, dia pasti berharap agar aku tidak segera bisa melunasi utangku sehingga aku akan membayar bunganya lebih banyak dari uang yang kupinjam. Sering ada tetangga yang mengaku membayar bunga utang kepada Pak Jayus dalam jumlah lebih besar dibanding jumlah uang yang diutangnya.

“Bunganya lima ratus rupiah saja,” tegas Pak Jayus ketika sudah menerima uang lima ribu rupiah dariku. Ingin aku protes karena utang beberapa jam saja diharuskan membayar bunga 10 persen, tapi itulah ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Pak Jayus. Dengan terpaksa aku menyerahkan uang lima ratus rupiah untuk membayar bunga utang lima ribu rupiah.

Sepulang dari Pak jayus, aku ditanya Ibu. “Tadi kamu membayar bunga utang berapa kepada Pak Jayus?” “Sepuluh persen.”

“Kalung tasbih yang kamu beli dengan uang si rentenir harus dibakar atau dibuang.” Ibu tampak marah.

Aku hanya terpana.

“Rasanya tidak bisa khusuk berzikir dengan kalung tasbih yang dibeli dengan uang dari si rentenir.” Ibu kembali bicara dengan nada geram.

Aku tetap terpana dan terbungkam. Dalam hati aku mencoba mengerti perasaan Ibu.

***

Ibu benar-benar tidak mau memakai kalung tasbih yang kubeli dengan uang dari si rentenir. Kalung tasbih itu dibiarkan tergantung di paku yang menancap di dinding kamar tidurnya. Ibu terpaksa berzikir dengan kalung tasbih yang lama meski biji tasbihnya kurang satu.

Dan setiap hari ibu tetap saja mencoba mencari sebutir tasbih yang hilang. Sering ibu menyapu lantai kamar tidurnya dengan pandangan mata yang ditajam-tajamkan dengan harapan bias melihat sebutir tasbih yang hilang. Tapi sebutir tasbih itu belum juga ditemukan. Aku merasa iba dan sering ikut-ikutan membantu ibu mencari lagi sebutir tasbih yang hilang. Tapi sebutir tasbih yang hilang itu belum juga kutemukan.

Sambil mencari-cari sebutir tasbih yang hilang, aku sering berdoa semoga ada tetangga dekat atau kerabat yang naik haji atau pergi umroh dan kemudian pulang memberkan seuntai kalung tasbih kepada Ibu. Tapi semua orang di kampung kami dan semua kerabat kami hidup dalam kemiskinan. Tak ada yang mampu naik haji atau pergi umroh. Sedangkan Paman, satu-satunya saudara Ibu yang cukup makmur telah wafat.

Pada suatu malam, aku tidur dan bermimpi mengerikan. Kalung tasbih yang kubeli dengan uang pinjaman yang berbunga itu tiba-tiba menjelma menjadi rantai besar yang membara dan melingkar di leherku. Aku menjerit-jerit kesakitan. Leherku terasa terbakar.

Lalu kalung tasbih itu tiba-tiba berpindah di leher Ibu. Tampak ibu tercekik dan tersiksa. Ibu pun menjerit-jerit kesakitan. Dan kalung tasbih itu kemudian menjerat leher Ibu sampai Ibu tidak bisa bernapas.

Mimpiku benar-benar mengerikan. Dan aku terjaga dari mimpi itu karena Ibu tiba-tiba membangunkan tidurku.

“Jangan banyak berpikir agar tidak mengigau,” tutur Ibu setelah aku terbangun dari tidurku.

***

Kini, Ibu sakit batuk dan tampak semakin kronis. Sejak sakit batuk, Ibu makin rajin berzikir di kamar tidurnya. Sering ibu berada di atas sajadah sejak menjelang lohor sampai habis salat asar.

Menjelang sore itu, aku pulang dari sawah dengan tubuh penat. Setibanya di rumah, aku terduduk di lantai teras depan sambil menundukan wajah. Tiba-tiba mataku melihat sebutir tasbih yang sekian bulan menghilang.

“Sebutir tasbih yang hilang sudah ketemu, Bu.” Aku berseru dengan girang.

Ibu tidak menyahut seruanku.

Dengan gembira, sebutir tasbuh itu segera kupungut dan kubawa masuk ke kamar Ibu. “Ternyata sebutir tasbih ini menggelinding sampai di halaman depan.”

“Mungkin dulu tersepak kakiku atau tersepak kaki Ibu,” ujarku.

Ibu tampak sedang bersujud. Tapi setelah kuperhatikan sekian detik, Ibu ternyata tidak sedang bersujud. Ibu telah wafat dalam keadaan bersujud.-k

Pondok Kreatif, Purwodadi, 2008

3.1 TEMA

Tema adalah pokok pikiran dasar cerita yang dipakai sebagai dasar mengarang. Sebuah tema harus dirumuskan dengan kalimat, dan tema tidak terlepas dari klimaks.

Tema dalam cerpen “Sebutir Biji Tasbih” karya Manaf Maulana adalah kekhusukan berawal dari kesucian.

3.2 TOKOH DAN PENOKOHAN

A. Tokoh

a. Tokoh Utama :

1. Ibu

b. Tokoh Bawahan :

2. Aku

3. Pak Jayus

B. Penokohan

a. Tokoh Utama :

1. Ibu :

Adalah seorang yang religious, ahli zikir yang senantiasa berzikir kepada Allah dengan tawakal berserah diri kepada Allah atas hidupnya. Selalu pasrah dalam hidup. Mudah resah dalam menghadapi masalah, ibu adalah seorang yang teguh dalam berkeyakinan, terutama dalam soal religiositas. Seorang yang tegas dan pantang menyerah dalam menyikapi sesuatu hal.

a) Pasrah

Tekhnik perbuatan tokoh

· Meski setiap hari berzikir menggunakan kalung tasbih, Ibu hanya punya seuntai kalung tasbih.

· Sejak sakit batuk, Ibu semakin rajin berzikir di kamar tidurnya.

b) Religious

Tekhnik perbuatan tokoh

· Ibu pernah mengaku setiap kali berzikir dengan memijit-mijit biji tasbih itu selalu merasa dekat dengan tuhan dan membayangkan juga berada di dekat makam Rasulullah.

· Sering ibu berzikir di atas sajadah sejak menjelang lohor sampai habis shalat asar.

Tekhnik cakapan tokoh

· “ Kelak kalau aku diberi kesempatan pergi ke tanah suci dan berziarah ke makam Rasulullah, aku akan naku akan membelikan kalung tasbih untuk kamu.”

c) Mudah resah

Tekhnik cakapan tokoh

· “ Benang kalung tasbih putus. Biji-biji tasbih jatuh dan menggelinding kemana-mana.” Ibu menjawab dengan isak tangis yang tertahan-tahan.

· “ Cepat gadaikan jarut untuk melunasi hutangmu kepada Pak Jayus hari ini juga, ”

d) Teguh berkeyakinan

Tekhnik cakapan tokoh

· “ Rasanya mengganggu zikirku kalau jumlah biji tasbih belum lengkap.”

· “ Rasanya tidak bias khusuk berzikir dengan kalung tasbih yang dibeli dengan uang si rentenir.”

Teknik perbuatan tokoh

· Ibu benar-benar tidak mau memakai kalung tasbih yang kubeli dengan uang dari si rentenir.

e) Curiga

Tekhnik cakapan tokoh

· “ Dari mana kamu memperoleh uang untuk membelu kalung tasbih ini?”

f) Tegas

Tekhnik cakapan tokoh

· “ Kalung tasbih yang kamu beli dengan uang dari si rentenir harus dibakar atau dibuang.”

g) Pantang menyerah

Tekhnik perbuatan tokoh

· Dan setiap hari Ibu tetap saja mencoba mencari sebutir tasbih yang hilang. Sering Ibu menyapu lantai kamar tidurnya dengan pandangan mata yang ditajam-tajamkan dengan harapan bias melihat sebutir tasbih yang hilang.

b. Tokoh bawahan :

1. Aku :

Adalah seorang yang penyayang dan berbakti kepada orang tuanya. Selalu mengerti perasaan ibunya ketika bersedih mengalami kesusahan. Namun agak sembrono, karena nekat meminjam uang kepada Pak Jayus si rentenir untuk membelikan kalung tasbih baru ibunya. Jujur dan patuh kepada ibunya namun sesekali juga bisa berbohong.

a) Pesimis/ tidak pernah yakin

Tekhnik perbuatan tokoh

· Dalam hati aku berdoa semoga keinginan ibu dikabulkan oleh Tuhan. Doaku terasa ragu, karena ibu sudah tua dan kami hidup miskin. Rasanya kami tidak layak untuk naik haji atau umroh karena untuk makan sehari-hari saja kami masih kesulitan.

· Setelah Ayah wafat kami hanya mampu menggarap sawah seperempat hektar itu.

· Sambil mencari-cari sebutir tasbih yang hilang aku selalu berdoa semoga ada tetangga dekat yang atau kerabat yang naik haji atau pergi umroh dan kemudian pulang merikan seuntai kalung tasbih kepada Ibu. Tapi semua orang di kampung kami dan semua kerabat kami hidup dalam kemiskinan. Tak ada yang mampu naik haji dan umroh. Sedangkan Paman satu-satunya keluarga Ibu yang cukup makmur telah wafat.

b) Penyayang

Tekhnik perbuatan tokoh

· Tanpa basa-basi, aku membantu ibu mengumpulkan biji-biji tasbih yang berceceran di lantai kamar tidurnya.

· Aku segera mencari sebutir biji tasbih yang hilang itu. Semua jengkal lantai kamar tidur Ibu kusisir dengan mata.

c) Berbakti

Tekhnik perbuatan tokoh

· Aku merasa ikut bersedih. Rasanya aku ingin membelikannya kalung tasbih baru.

d) Sebrono

Tekhnik perbuatan tokoh

· Lalu aku terpaksa meminjam uang lima ribu rupiah kepada Pak Jayus si rentenir di kampong kami.

e) Jujur

Tekhnik perbuatan tokoh

· Dengan tegas aku menjawab jujur.

Tekhnik cakapan tokoh

· “ Dari Pak Jayus.”

f) Patuh

Tekhnik perbuatan tokoh

· Tanpa bicara lagi aku pergi ke kantor pegadaian untuk menggadaikan selembar kain jarit milik Ibu yang belum pernah dipakainya.

g) Sepulang dari kantor pegadaian, aku segera ke rumah Pak Jayus untuk melunasi utangku. Bisa bohong

Tekhnik cakapan tokoh

· “Ya, Pak, kebetulan ada famili yang datang dan memberiku uang,” jawabku berbohong.

2. Pak Jayus :

Adalah seorang rentenir yang licik yang selalu mengharap mendapatkan hasil yang banyak dari bunga uang yang telah dipinjamkannya kepada orang-orang. Sehingga jika ada seseorang yang mengembalikan hutangnya dalam jangka waktu yang singkat, maka Pak Jayus akan kecewa tetapi tetap saja Pak Jayus meminta bunganya walaupun hanya sedikit.

a) Tidak berperikemanusiaan

Tekhnik perbuatan tokoh

· Pak Jayus Nampak kecewa. Sebagai rentenir, pasti berharap agar aku tidak segera bisa melunasi utangku sehingga aku akan membayar bunganya lebih banyak dari jumlah yang kupinjam.

.

b) Licik

Tekhnik perbuatan tokoh

· Sering ada tetangga yang mengaku membayar bunga utang kepada Pak Jayus dalam jumlah yang lebih besar daibanding jumlah uang yang diutangnya.

4. KESIMPULAN

1. Tema

Tema dalam cerpen “Sebutir Biji Tasbih” karya Manaf Maulana adalah kekhusukan berawal dari kesucian.

2. Penokohan

a. Tokoh Utama :

1. Ibu :

Adalah seorang yang religious, ahli zikir yang senantiasa berzikir kepada Allah dengan tawakal berserah diri kepada Allah atas hidupnya. Selalu pasrah dalam hidup. Mudah resah dalam menghadapi masalah, ibu adalah seorang yang teguh dalam berkeyakinan, terutama dalam soal religiositas. Seorang yang tegas dan pantang menyerah dalam menyikapi sesuatu hal.

b. Tokoh bawahan :

1. Aku :

Adalah seorang yang penyayang dan berbakti kepada orang tuanya. Selalu mengerti perasaan ibunya ketika bersedih mengalami kesusahan. Namun agak sembrono, karena nekat meminjam uang kepada Pak Jayus si rentenir untuk membelikan kalung tasbih baru ibunya. Jujur dan patuh kepada ibunya namun sesekali juga bisa berbohong.

2. Pak Jayus :

Adalah seorang rentenir yang licik yang selalu mengharap mendapatkan hasil yang banyak dari bunga uang yang telah dipinjamkannya kepada orang-orang. Sehingga jika ada seseorang yang mengembalikan hutangnya dalam jangka waktu yang singkat, maka Pak Jayus akan kecewa tetapi tetap saja Pak Jayus meminta bunganya walaupun hanya sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada.

Sayuti, Sumito A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

SURAT KABAT

Maulana, Manaf. 2009. “Sebutir Biji Tasbih”, dalam Kedaulatan Rakyat, Minggu Kliwon 26 Juli (3 Ruwah 1942), hal. 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar